Perempuan berkaca mata itu membaca dalam keremangan ruangan kafe Reading Room di Bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Kamis pekan lalu itu, Maggie Tiojakin membacakan bab yang tak ia masukkan dalam novelnya, Winter Dreams.
Mengawali karier menulis dari dunia jurnalistik, Maggie “pulang kampung” ke ilmu sastra yang dipelajarinya di Harvard Univesity. Setelah menerbitkan kumpulan cerita pendek, Maggie merilis novel Winter Dreams pada akhir tahun lalu. Berikut ini petikan obrolan dengan Maggie selepas diskusi novel terbitan Gramedia Pustaka Utama yang dihadiri penulis Andrea Hirata, Ratih Kumala, dan Erwin Arnada itu:
Novel Winter Dreams ini bercerita soal apa?
Ini bukan novel laga yang ada adegan tembak-tembakan, Ini soal kisah pencarian jati diri tokoh Nicky F. Rompa. Dalam novel ini diceritakan Nicky yang berusia 20 tahun, umur orang masih punya banyak mimpi yang ketika dewasa sering berbenturan dengan kenyataan hidup.
Kenapa memilih menceritakan kisah imigran gelap?
Imigran itu punya banyak cerita. Saya banyak bertemu mereka sewaktu kuliah di Amerika Serikat. Tinggal di sana menurut saya bukan untuk bergaul dengan orang berkulit putih tapi bergaul dengan orang dari berbagai belahan dunia yang datang ke sana mengejar mimpinya. Ada yang sekedar singgah dan ada yang imigran gelap. Di sana ada kehidupan yang penuh warna dari kultur yang berbeda-beda.
Jadi semua berdasarkan pengalaman ya?
Tidak semua. Ada yang berdasarkan riset saja, misalnya soal petualangan outdoor Nicky. Saya tidak suka outdoor apalagi dekat-dekat sungai, saya takut nyebur. Ibu saya selalu berpesan, Maggie jangan dekat-dekat air nanti ada buaya hahaha.
Mengapa bab tambahan tidak ikut diterbitkan?
Menurut saya ending di novel sudah cukup pas. Saya menulis bab tambahan ini khusus buat mereka yang penasaran dengan kelanjutan cerita Nicky.
Berapa lama menulis novel ini?
Winter Dreams ini kristalisasi ide saya selama tujuh tahun. Ceritanya sih saya mau bikin masterpiece tapi selama bertahun-tahun enggak juga mulai saya tulis hahaha. Lalu pada Januari lalu saya jadikan novel ini resolusi tahun baru dan selama tiga setengah bulan saya menulisnya.
Seperti apa proses penulisannya?
Saya bangun setiap pagi, menatap layar komputer yang putih itu dan mulai menulis. Tapi saya tidak memakai outline sama sekali.
Kenapa begitu?
Penulisan novel ini sangat magis buat saya. Ketika saya menemukan karakter Nicky, dia seolah bicara dan mengajak saya mengikuti perjalanannya. Saya menyiapkan enam halaman outline akhirnya tidak terpakai sama sekali. Karakter itu punya jalan pikiran sendiri. Ketika saya mencoba memaksakan outline yang berisi pemikiran saya, rasanya saya ditendang balik sama tokoh Nicky ini.
Anda memilih judul bahasa Inggris…
Tadinya mau judul Indonesia tapi kata penerbit kurang menjual. Tapi judul Winter Dreams pas buat merepresentasikan isi novelnya. Winter atau musim dingin itu kan kondisi di mana semua serba kacau dan semua tertutup salju, persis seperti masa muda seseorang yang baru ketahuan aslinya nanti setelah matang di musim panas.
Baca selengkapnya di sini.