Dunia penerbitan dan selera pembaca bisa saja tak menentu, namun novelis dan penulis skenario, Maggie Tiojakin, tetap menyimpan harapannya untuk terus melahirkan karya yang menyentuh kehidupan banyak orang.
Kapan mulai menyukai dunia tulis-menulis?
Saya mulai suka baca cerpen di usia 13 tahun, ternyata menyenangkan. Tapi yang paling saya ingat adalah ketika dulu membaca novel A Time to Kill karangan John Grisham. Saat itu saya benar-benar terbawa dengan cerita, nggak mau makan dan deg-degan hanya karena menunggu ending novel itu. Dari situ saya sadar kalau tulisan ternyata bisa sangat ‘memengaruhi’ orang lain. Saya sempat mikir, kira-kira bisa nggak ya suatu saat menciptakan dunia yang sama untuk orang lain? Waktu SMA, boyband lagi booming, saya juga kebanjiran pesanan teman-teman yang ingin dibuatkan cerita khayalan dengan idola mereka. Saat paling menggembirakan sebagai remaja tentu adalah saat cerpen karya saya dimuat di Anita Cemerlang. Itu pertama kalinya saya dibayar dan bisa traktir ayah saya makan di restoran junk food dekat rumah. Seru banget! Kebiasaan membuat cerita ini berlanjut terus sampai saya kuliah. Respon yang berdatangan juga cukup bagus.
Mengapa memilih cerpen?
Di Indonesia menulis cerpen dianggap sebagai batu loncatan atau latihan untuk menulis novel. Tapi setelah terjun dan diperkenalkan kepada dunia cerpen yang serius, saya belajar bahwa dua hal tersebut membutuhkan skill dan teknik yang berbeda. Kekuatan cerpen adalah bagaimana ia bisa menghadirkan kehidupan yang nyata, dengan segala kompleksitas dan permasalahannya tapi tidak bertele-tele. Makanya bikin cerpen itu menurut saya susah banget, tapi akan timeless bila dikerjakan dengan baik dan benar.
Anda percaya kekuatan ‘muse’ saat menulis?
Winter Dreams adalah novel pertama saya, sekaligus bukti bahwa hal-hal seperti itu ada. Dari tahun 2004 saya sudah sangat ingin menulis novel tersebut. Tapi biar sudah bongkar-pasang sampai draft yang ke-50, karakternya tidak kunjung ketemu. Sampai akhirnya saya bertemu karakter saya, Nicky F. Rompa. Proses menulis itu magis buat saya. Setelah karakter itu punya nama, jiwa dan ceritanya pun muncul. Dia seperti hidup dan menceritakan kisahnya kepada saya. Saat menulis, saya tidak tahu ending-nya, karena saya menikmati perjalanan dan thrill-nya. Selama tiga bulan, saya terpaksa harus ‘menghilang’ karena saya khawatir mereka akan meninggalkan saya bila saya tidak buru-buru menuliskannya.
Nasehat terbaik yang pernah Anda terima?
Mantan atasan saya di sebuah toko pernak-pernik dulu pernah suatu hari memanggil saya dan bilang, “Saya melihat ada sesuatu yang baik dalam dirimu, cuma jalan ke sana tidak akan mudah. Tapi pastikan bahwa pekerjaan apa pun yang kamu ambil nanti, jangan sampai menyita waktumu dan bikin kamu tidak ingin menulis lagi. Kerja buat bertahan hidup itu penting, tapi jangan mematikan passion.” Itu sebabnya saya nggak mau kerja kantoran, ha ha ha.
What makes people good writers?
Ketekunan. Membaca, menulis, observasi, latihan. Mau sepintar apapun kalau nggak tekun, ya bubar. Menulis itu proses komunikasi yang sunyi dan sepi. Suatu proses yang harus dijalani sendirian—dengan tekun.
Tantangan menulis selanjutnya?
Saya selalu tertarik dengan tema relationship. Sesudah proyek film Simfoni Luar Biasa dengan Awi Suryadi dan Delon Tio, saya sedang menggarap suatu cerita yang mengangkat tema humanity. Tantangan terbesar dalam dunia tulis-menulis? Selama ini ada begitu banyak cerita yang seharusnya bagus tapi tidak berkembang karena terlalu tunduk pada plot, keberatan pesan-pesan si penulis sehingga karakter-karakter yang ada kurang terbangun. DS
Baca selengkapnya di sini.