‘Penulis Kita (Masih) Cari Aman’

Maggie Tiojakin adalah penulis buku kumpulan cerpen Balada Ching-Ching (penerbit Gramedia Pustaka Utama).

Dia termasuk penulis Indonesia yang cukup punya nama di komunitas penulis fiksi internasional.

The Jakarta Post Weekender, Asian News Network (ANN), The Boston Globe, Brunei Times, Writers’ Journal, Voices, La Petite Zine, Femina, Kompas, Eastown Fiction, Somerville News, adalah –antara lain- media yang pernah memuat karya perempuan alumni Universitas Pelita Harapan (1998) ini.

Bagi komunitas pembaca & penulis fiksi tanah air, nama Maggie Tiojakin mendapat apresiasi tersendiri.

Dialah yang ‘menghadirkan’ cerpen-cerpen kelas dunia ke dalam Bahasa Indonesia melalui media online bernama Fiksi Lotus.

Situs yang dikelolanya itu, secara regular menerjemahkan karya-karya cerpenis mancanagera dengan kualitas alih bahasa yang relatif  terjaga, serta professional; Se-izin dan bekerjasama dengan penulisnya/pemilik hak cipta.

Perihal inilah yang memicu kami untuk mewawancarai Maggie.

Apa misi yang diembannya hingga rela mengorbankan waktu & tenaga untuk menyajikan karya-karya penulis dunia secara ‘gratis’ kepada publik ?

Kami tidak tahu, apakah kegemarannya menonton Upin & Ipin ada hubungannya dengan keramatamahan copywriter yang pernah kuliah di Harvard Extension School (2004) ini. Namun faktanya, hanya dengan sekali sapa via e-mail, Maggie lansung mengiyakan permintaan wawancara tertulis dari kami.

Nah, berikut petikannya buat anda :

Sebelumnya, selamat atas terbitnya ‘Balada Ching-Ching’. Kumpulan cerpen dalam buku ini berkisah tentang apa saja ?

Terima kasih banyak untuk dukungannya terhadap BCC. Di dalam buku kumcer ini ada 13cerita pendek yang masing-masing bercerita tentang pengalaman hidup.

Ada yang sedih, ada yang senang, ada yang obsesif – dan lainnya. Intinya buku ini bercerita tentang balada dalam kehidupan sehari-hari kita.

Terbitnya Balada Ching-Ching butuh waktu 4 tahun setelah buku kumpulan cerpen anda yang pertama, Homecoming (Penerbit Mathe Publications, 2006). Mengapa bisa selama itu ?

Sebenarnya cerita-cerita yang terkandung dalam BCC merupakan kompilasi dari sejumlah cerita pendek yang saya tulis bahkan sebelum Homecoming terbit.

Kenapa ada selang waktu 4 tahun antara Homecoming dan BCC itu sebagian besar karena tadinya saya berencana menulis novel dulu sebelum menerbitkan kumcer lagi, tapi sampai sekarang naskah novelnya masih setengah matang.

Selain itu, proses seleksi cerita untuk BCC juga lumayan sulit dilakukan. Mayoritas cerita pendek yang saya tulis panjangnya dua-tiga kali melebihi batas standar cerpen Indonesia, dan karenanya kurang cocok untuk pembaca Indonesia.

Oleh sebab itu, saya harus menyeleksi cerita-cerita dengan panjang sesuai standar penulisan cerpen di sini.

Belajar Dari Penulis Cerpen Mancanegara

Anda banyak menerjemahkan karya-karya fiksi luar negeri. Apa saja yang bisa dipelajari –khususnya bagi penulis pemula- dari karya-karya penulis mancanegara tersebut.

Tujuan saya menerjemahkan cerpen-cerpen dari berbagai negara adalah karena terbatasnya stok cerpen asing di Indonesia, dalam arti cerpen asing yang bisa dinikmati dalam Bahasa Indonesia.

Kalau pembuat film kan enak tuh, bisa mendapatkan referensi luas hanya dengan mampir ke toko DVD langganan. Tapi untuk pembaca atau penulis cerpen Indonesia, menemukan cerpen asing yang telah disadur ke dalam Bahasa Indonesia itu sulit sekali.

Sebagai bahan referensi, cerpen asing menawarkan banyak sekali manfaat bagi pembaca maupun penulis cerpen di Indonesia. Sebagai contoh, seorang cerpenis asal Iran mungkin menawarkan sudut pandang dunia modern dari kultur Persia abad ke-21, yang mana sangat kontras apabila disandingkan dengan sudut pandang yang ditawarkan oleh seorang cerpenis asal Nigeria.

Namun dari perbedaan tersebut ada benang merah yang bisa ditarik, dicerna, dan dipelajari – seperti metode pengupasan budaya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam subyek tulisan.

Setiap negara dan suku bangsa punya budayanya masing-masing, tapi bagaimana budaya ini bisa kita ikutsertakan dalam sebuah cerita untuk menghasilkan potret hidup yang utuh adalah kunci penceritaan yang baik.

Ini artinya, sebuah cerita – terlepas dari asal-usul dan siapa penceritanya – bila diceritakan dengan baik akan memiliki nilai resonansi yang sama kuatnya walaupun dibaca oleh orang dengan latar belakang beragam serta orang dari masa/periode yang berbeda.

Cerita yang baik adalah cerita yang sifatnya tidak kenal geografi dan tidak kenal waktu.

Menurut anda, bisa tidak karya-karya penulis Indonesia bersaing di ‘pasar’ internasional ? Apa saja modal yang dibutuhkan?

Sangat bisa. Sekarang ini sudah banyak karya penulis Indonesia yang dijual dan digandrungi di negara-negara lain, seperti karya Eka Kurniawan, Clara Ng, Djenar Maesa Ayu, Andrea Hirata, dan juga tentunya Pramoedya Ananta Toer.

Selain itu, ada juga Erick Setiawan yang karyanya diterbitkan oleh penerbit bergengsi di AS, Simon & Schuster, dengan judul Of Bees and Mist dan telah menuai cukup banyak pujian dari pembaca internasional.

Memang, untuk memasuki tahap persaingan global, tolak ukurnya sebagian besar masih ditetapkan oleh dunia penerbitan di dua negara penikmat dan penghasil sastra terbesar di dunia: AS dan Inggris.

Hampir 80 persen penghargaan sastra bergengsi berasal dari AS dan Inggris. Namun nama-nama penulis internasional yang bersaing di sana masih tergolong sedikit, dan kalaupun ada mayoritas dari mereka adalah para penulis yang dididik atau dibesarkan di kedua negara tersebut.

Tahun 2010 merupakan tahun yang cukup spektakuler bagi cerpenis internasional, karena nama-nama mereka mulai dikenal di sejumlah jurnal sastra bergengsi di AS dan Inggris – seperti Yiyun Li (Cina), Chimamanda Ngozi Adichie (Nigeria), Dinaw Mengestu (Etiopia), juga Tea Obreht (Belgrade, mantan Yugoslavia).

Dan jumlah koleksi cerpen yang diterbitkan di tahun 2010 antara AS dan Inggris juga tidak sedikit.

Tahun 2011 diharapkan lebih sukses dari tahun sebelumnya, dan mudah-mudahan para penulis Indonesia bisa ikut berpartisipasi di dalamnya.

Secara objektif, apa saja kekurangan karya-karya penulis fiksi pendek Indonesia dibanding karya-karya penulis mancanegara, khususnya dalam soal teknik menulis.

Kalau menurut saya, Indonesia punya ‘gaya’ penulisan cerpen yang berbeda dari negara-negara lain.

Sayangnya ‘gaya’ ini juga yang sedikit-banyak agak menghambat kemajuan dunia cerpen Indonesia ke tahap internasional.

Saya tidak akan mengatributkan kekurangan ini kepada penulis Indonesia, melainkan kepada teknik bercerita itu sendiri yang akarnya bisa ditelusuri sejak jaman nenek-moyang kita.

Nah, kekurangan fiksi pendek Indonesia (termasuk di dalamnya mungkin fiksi pendek yang saya tulis juga) terletak di fokusnya terhadap plot, terhadap pembahasaan yang condong semakin ‘manis’ semakin bagus, dan terhadap penghindaran konflik.

Hampir semua cerpen lokal yang saya baca memiliki ciri khas sama: berusaha menghadirkan plot seru; dengan kosa kata tinggi nan sulit, berbelit dan berbunga-bunga; serta dialog/alur yang aman-aman saja.

Aman dalam arti memiliki resiko kecil bagi si penulisnya sendiri, bukan aman bagi masyarakat. Karena sesuatu yang tak ada artinya bagi penulis bisa jadi menuai bencana di tengah masyarakat (sensasi).

Tapi yang penting adalah bagi penulis untuk berani menghasilkan karya yang menentang sudut pandangnya sendiri. Counter-argument istilahnya.

Kalau kita mau telaah cerpen-cerpen klasik atau terbaik di dunia, seperti karya Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, Lu Xun, Virginia Woolf dan Jhumpa Lahiri – hampir semuanya tidak punya plot, penuturannya sederhana sesuai kebutuhan, dan dialog/alur-nya menantang kesadaran kita (serta kesadaran penulisnya).

Ernest Hemingway yang terkenal senang main perempuan tak urung mengeksplorasi arti komitmen dalam tulisan-tulisannya, karena itu perdebatan karakternya terasa begitu nyata dan jujur; sementara F. Scott Fitzgerald yang tergila-gila akan harta dan kemewahan, selalu mempertanyakan arti keduniawian; dan Jhumpa Lahiri juga tak pernah berhenti menggali arti identitas karena latar belakangnya sebagai orang India yang dibesarkan di negeri orang.

Penulis yang baik tidak harus jenius, tapi mereka harus punya keberanian untuk mempertanyakan diri mereka sendiri dan menumpahkannya ke dalam tulisan.

Sementara penulis yang selalu memilih jalur ‘aman’, dalam arti hanya berani berimajinasi tanpa berani mempertanyakan diri mereka sendiri, akan selalu menghasilkan karya yang ‘aman’ juga.

Nah, untuk saat ini, kita masih cenderung cari ‘aman’.

Dari pengalaman anda berinteraksi dengan penulis mancanegara, mereka itu umumnya belajar menulis otodidak atau produk institusi (semacam kelas/kursus menulis) ?

Sebagian besar pernah mengambil kursus menulis. Bahkan tak sedikit yang punya gelar Master dalam bidang Creative Writing.

Tapi yang harus dimengerti adalah kursus menulis atau jurusan Creative Writing tidak mengajarkan seseorang cara untuk menulis, melainkan memberikan bahan referensi yang luas serta membimbing agar para siswa bisa mengembangkan referensi itu menjadi acuan dalam menulis.

Karena pada dasarnya Creative Writing tidak memiliki pakem atau peraturan tertentu yang harus diikuti dari A-Z.Semua itu tergantung bagaimana kita mengasah kemampuan kita sebagai penulis, dan bagaimana kita mengolah topik yang ingin kita tulis menjadi sebuah karya yang memiliki nilai resonansi tinggi bagi pembaca.

Semua itu tidak ada buku panduannya, harus dipelajari langsung dari tulisan-tulisan yang sudah ada. Jadi bisa disimpulkan semua penulis belajar secara otodidak.

Seorang penulis yang punya gelar Master dalam bidang Creative Writing sama saja dengan penulis yang hanya lulusan SD tapi rajin membaca di perpustakaan umum.

Yang penting bukan institusi/gelar yang dimiliki, melainkan ketekunan membaca.

Menurut kami, anda penterjemah yang bagus. Tapi bagaimana cara anda menterjemahkan karya sastra luar negeri, dimana ‘cita rasa’ karya-karya tersebut tetap sama dengan bahasa aslinya ?

Terima kasih. Bagi saya pribadi, yang terpenting dalam menerjemahkan karya asing adalah bagaimana mentransportasi ‘jiwa’ tulisan dalam satu bahasa ke bahasa lain.

Saat lelah, saya sering terbentur dan masuk ke dalam pola ‘otomatis’ yang mendorong saya untuk menerjemahkan tulisan secara verbatim, atau kata per kata.

Tapi kalau sudah begitu saya lantas tersadar dan segera menghapus hasil terjemahan saya. Sebelum menerjemahkan suatu karya, harus ada pengertian yang sama antara si penerjemah dan si penulis buku dalam bentuk pendalaman karya.

Menerjemahkan buku sebenarnya sama saja seperti menulis ulang suatu karya sesuai dengan pengertian kita sebagai penerjemah. Kalau kita sendiri tidak mengerti ‘jiwa’ karya yang kita terjemahkan, apalagi pembacanya.

Kemampuan berbahasa itu penting, tapi lebih penting lagi adalah nalar.

Kami pembaca setia situs Fiksi Lotus yang anda kelola. Karya-karya penulis mancanegara yang anda terjemahkan kerap membuat ‘iri’. Mereka terlihat paham teknik menulis fiksi?

Wah, senang mendengarnya. Semoga Fiksi Lotus bisa terus mengajak kita semua untuk belajar lebih banyak tentang cerpen ya.

Karya-karya yang saya pilih untuk kemudian diterjemahkan dan di-upload ke Fiksi Lotus bagi saya merupakan karya-karya klasik, dalam arti mereka memiliki faktor timelessness di dalamnya.

Saya beruntung sekali karena sebagian besar cerpenis mancanegara yang saya sadur karyanya sangat mendukung keberadaan Fiksi Lotus.

Menurut saya mereka adalah cerpenis yang sangat handal; tapi perlu diingat juga bahwa untuk sampai ke posisi mereka sekarang, tidak sedikit surat penolakan yang harus mereka telan pahit-pahit sebelumnya di awal karir mereka.

Dan ini adalah proses yang harus dijalani semua penulis, karena dengan begitu mereka bisa terus mengasah kemampuan mereka.

Selain itu, sebagian besar dari mereka sangat low profile, selalu membuka diri untuk berinteraksi dengan pembaca.

Dengar-dengar film yang anda tulis; Simfoni Luar Biasa’ akan segera rilis bulan maret 2011, ini pengalaman pertama anda ? Apa ada perbedaan mendasar menulis buku dengan skenario film ?

Yessss!  Benar sekali. 17 Maret 2011 tepatnya.

Ini pertama kali naskah yang saya tulis bersama sutradara Awi Suryadi difilm-kan.

Perbedaan antara menulis naskah film dan buku itu sangat besar. Untuk film, tulisan yang baik adalah tulisan yang mengikuti format script – ini artinya tulisan yang memiliki keseimbangan unsur genre yang hendak ditampilkan.

Rumusnya lumayan rumit.

Contoh, untuk drama-komedi, ada hitungan menit tertentu di mana penonton harus dikelitik habis-habisan, dan ada menit lain di mana penonton harus dibuat tersentuh atau sedih.

Naskah yang baik adalah naskah yang terkontrol penyusunan dialog, aksi, dan setting-nya sehingga sehabis menangis, penonton tidak lantas dibuat menangis lagi; melainkan diberi kesempatan tertawa, sebagai comic relief.

Kalau belajar cara penulisan naskah yang baik, pasti tidak menyangka bahwa film yang kesannya tidak ada celah itu perlu melalui proses susun-menyusun adegan yang tidak jauh beda dengan penyusunan bata bangunan saat mendirikan tembok.

Setiap bata harus tepat peletakannya, dan semua harus saling menopang. Salah geser sedikit, hancur berantakan.

Sedangkan dalam menulis novel atau cerpen peraturannya tidak seketat itu.

Masalahnya naskah  tidak dinikmati sebagai bacaan, melainkan sebagai tontonan visual.

(Terakhir) apa pesan anda bagi penulis fiksi pemula untuk meningkatkan mutu tulisannya

Baca, baca, baca.

Semakin banyak baca, semakin banyak latihan, semakin baik hasil tulisan.

Kalau malas beli buku, silakan mampir ke Fiksi Lotus – gratis :)

Terima kasih, IndoNovel, atas kesempatannya diwawancarai. Maju terus ya!  terima kasih

Terima kasih.

Untuk mengakses link ke situs Indo Novel, silakan klik di sini.