adalah seorang pemimpi yang tidak suka tidur. Dan ketika didatangi mimpi, senang menganalisa mimpi itu seolah pertanda serius (padahal cuma bunga tidur). Ngelindur.

Judul Asli: The Wednesday Letters
Judul Asli: The Wednesday Letters

Kisah mereka dimulai dengan sepucuk surat di malam pernikahan mereka. Aku sudah berjanji hari ini di gereja dan aku akan berjanji lagi padamu malam ini. Aku akan menulis surat padamu setiap minggu.… Dan, Laurel, aku akan selalu mendampingimu. Tak peduli apa pun yang terjadi. Kita akan selalu bersama. Tanpa rahasia. Tanpa kejutan. Dan aku akan selalu setia kepadamu dalam segala hal…. Jack. 

Kisah ini ditutup dengan surat terakhir yang ditulis Jack sebelum mereka sempat mengatakan hal yang sebenarnya kepada anak-anak mereka. Dalam waktu singkat, putra-putri keluarga Cooper menemukan ribuan “Surat Hari Rabu,” yang merupakan petunjuk bagi rahasia keluarga. Rahasia ini membawa setiap anggota keluarga Cooper menghadapi perubahan besar dalam hidup mereka seiring dengan tersingkapnya tabir rahasia. 

Penerbit: PT. Gagas Media

Judul Asli: Fiksi Lotus Volume 1
Judul Asli: Fiksi Lotus Volume 1

Seorang pria membeli ramuan di tengah malam buta untuk menaklukkan hati sang kekasih… John Collier

Dua orang musuh bebuyutan terjerembab di malam pekat, menunggu nasib menentukan siapa di antara mereka yang akan selamat… Saki

Seorang prajurit menemukan namanya dicetak di atas koran dan tak sabar mengumumkannya ke semua orang… Anton Chekhov

Sang Kaisar sekarat, ia mengutus seorang kurir untuk mengantarkan pesan penting… Franz Kafka

Dua orang pelayan berdebat tentang fungsi sebuah kafe… Ernest Hemingway

Dan cerita pendek klasik lainnya terangkum di sini. Bermula dengan situs sederhana, Fiksi Lotus menghadirkan koleksi cerita pendek klasik dunia yang menarik dan tak jarang menggelitik bagi pembaca Indonesia. Keempat belas cerita yang telah dipilih untuk dihadirkan dalam volume perdana ini merupakan karya-karya besar sejumlah penulis ternama seperti Dorothy Parker, O. Henry, Naguib Mahfouz, dan masih banyak lainnya.

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

Judul Asli: Just So Stories
Judul Asli: Just So Stories

Just So Stories adalah kumpulan kisah pengantar tidur yang ditulis oleh Rudyard Kipling—penulis novel klasik legendarisThe Jungle Book. Dalam kumpulan cerita pendek ini, kisah-kisah lucunya bukan sekadar cerita, tapi juga dihiasi ilustrasi goresan Staven Andersen yang memperkaya kisah-kisah fabel ini.

Walau ditulis lebih dari seratus tahun lalu, cerita-cerita dalam Just So Stories tak lekang oleh zaman karena dipadukan dengan mutiara kebijaksanaan. Di sini kita bisa membaca kisah kenapa unta berpunuk, bagaimana macan mendapat tutulnya, kenapa gajah punya belalai, bagaimana alfabet diciptakan, dll. Semua kisah ini akan membawa Anda menuju petualangan menembus waktu dan imajinasi pengarang peraih nobel sastra, Rudyard Kipling.

Buku ini bisa dibaca oleh semua umur dan terutama bisa menjadi hadiah indah bagi putra-putri tercinta untuk membuka wawasan imajinasi dan kecintaannya terhadap buku.

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

 

Judul asli: The Collected Stories of Edgar Allan Poe
Judul asli: The Collected Stories of Edgar Allan Poe

Kisah-Kisah Tengah Malam berisi tiga belas cerita pendek karya klasik Edgar Allan Poe. Masing-masing cerita di sini akan membawa pembaca menuju pengalaman unik yang penuh ketegangan, teror, dan misteri. Beberapa cerpen Edgar Allan Poe yang terkenal seperti Black Cat, The Fall of the Usher, dan Tell-Tale Heart bisa Anda temukan dalam kumpulan cerpen ini.

Saat membaca Kisah-Kisah Tengah Malam, Anda akan diajak memasuki rumah tua misterius, pembalasan dendam, kegelisahan sang pembunuh, hingga terombang-ambing dalam badai di lautan. Dan pada akhirnya, cerpen-cerpen pilihan di sini akan membawa Anda terkagum-kagum pada master horor gotik, Edgar Allan Poe.

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

Beli bukunya secara online di:

Gilabuku.com

Gramedia.com

Bukabuku.com

Inibuku.com

sktla_gm

BELI BUKU

Kumpulan cerita absurd ini disusun selama satu tahun sebelum akhirnya duduk di rak-rak toko buku. Terdiri dari empat belas cerita pendek, Maggie Tiojakin menyuguhkan tema yang tak lazim di ranah fiksi Indonesia. Bagaimana sepasang suami-istri menarik garis batas dalam pernikahan mereka di tengah amukan badai, misalnya, di “Tak Ada Badai di Taman Eden” atau pencarian seorang bocah laki-laki terhadap Tuhan di tengah kemelut perang saudara di “dies irae, dies illa”. Setiap cerita memberikan sekelumit pengalaman yang takkan terlupakan dan Maggie Tiojakin menyuguhkan kumpulan cerita ini seolah di atas piring perak bagi para pembacanya.

winter_dreams_photo

BELI BUKU

Novel perdana Maggie Tiojakin mengambil setting di Jakarta dan Kota Boston di Pantai Timur Amerika Serikat. Sarat akan nuansa urban, novel ini berhasil menggarisbawahi pertanyaan besar yang menggantung di benak semua anak muda: “Mau jadi apa sekarang?” Dengan penokohan yang kuat, interaksi antar karakter yang tidak dibuat-buat, serta penjabaran setting yang unik—Winter Dreams acapkali disangka sebagai novel asing. Perjalanan Nicky F. Rompa mengarungi masa mudanya dapat diamini oleh semua orang; dan pilihan-pilihan hidupnya yang kemudian membuka kesadaran baru tentang apa itu impian ibarat permata yang tak tergantikan. Novel ini kaya makna, tidak menggurui dan memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengamati perjalanan mereka sendiri.

BCC

BELI BUKU

Dalam koleksi cerita pendek keduanya, Maggie Tiojakin mengangkat tema keseharian yang seringkali terlupakan. Keresahan seorang perawat menghadapi pasien yang terminal di “Anatomi Mukjizat” atau bagaimana seorang pasien jantung bocor berusaha memahami kondisi tubuhnya yang berbanding lurus dengan kehidupannya di “Ruang Tunggu”. Koleksi cerita pendek ini terdiri dari tiga belas cerita yang selalu mengingatkan kita akan celah-celah kecil dalam keseharian kita yang berpotensi mendefinisikan hidup kita. Tulisan Maggie Tiojakin sangat berirama, namun tetap lugas dan observatif. Kedalaman tema yang ia angkat juga sangat dewasa, melebihi usianya sendiri. Dia adalah penulis muda yang patut diperhatikan perkembangannya.

CJ maggie

BELI BUKU

Berdasarkan skrip karya Awi Suryadi, Maggie Tiojakin menovelisasikan film berjudul sama di tahun 2008. Sedikit berbeda dengan film yang disuguhkan, dalam novel ini Maggie memberikan backstory pada karakter-karakter ciptaan Awi Suryadi dan menambahkan nuansa percintaan muda-mudi dengan cara yang dewasa. Diterbitkan oleh Gagas Media, Claudia/Jasmine adalah satu-satunya novel komisi yang pernah ditulis oleh Maggie Tiojakin.

What did you first read? How did you begin to write? Who were the first to read what you wrote?

I can’t remember the first book I read, but I do remember the first book I read which made a lasting impression on me and it was John Grisham’s A Time to Kill. I was thirteen, I think. I started writing poetry at the age of thirteen, and then I dabbled a little on scripts, which is basically a series of dialogue and scenes and actions. Then I started writing short stories. And before I finished high school, I had started writing a 700-page novel (which I’ve lost since) titled NIBOR. It’s a love story cum courtroom drama cum thriller (I don’t think I knew what it was I wanted to convey apart from the fact that I enjoyed the process immensely). My first reader were good friends of mine, Dewi Yuliana and Novi Suryadi.

What is your favorite genre? Can you provide a link to a site where we can read some of your work or learn something about it?

I love literary books/stories. There’s something about transporting reality onto a blank page and picking apart its elements and putting them together to create something that resembles life, but better. It’s fiction! :) You can visit my site atwww.maggietiojakin.com — and you can click on the “Short Story” tab. You’ll find links to my published short stories there.

What is your creative process like? What happens before sitting down to write?

I like to rev up the “engine” by watching music videos online, or if that’s not an option I like to write aimlessly just to get the juices flowing. I also like to see illustrations and photos before I write, to sort of tap on the creative resources inside my head :) And then I would start to write a story. However, when a story doesn’t speak to me, in that I feel like I want to tell it (as a writer) but I am incredibly bored by it (as a reader) — my body tends to respond to it by falling asleep. So I know that when a story doesn’t work, I’d feel incredibly sleepy right in the middle of the writing process.

What type of reading inspires you to write?

Short stories, particularly by Ernest Hemingway, Alice Munro, Jhumpa Lahiri, Anton Chekhov and Raymond Carver. Also, anything by the late Andre Dubus.

What do you think are the basic ingredients of a story?

I understand that plot is a very exciting element for a lot of people, but for me, plot is a device that makes writing a lot less organic. Plot is the basic ingredient, or perhaps the ultimate one, for stories that are fun, thrilling and touching by nature. For me, the basic ingredients are: characters, setting, dialogue and soul. I don’t care for plots. If a story is fun and exciting and extremely touching, but lacks strong characters, striking details in the setting, engaging dialogue, and soul (the writer’s true passion) — I’d consider it a B story. It doesn’t matter if it wins accolades.

What voice do you find most to your liking: first person or third person?

I prefer first person, because it gives me the rare advantage of stepping inside the character’s shoes and seeing the world as he/she sees them. I also like to write in third person, but while it has its advantages, I feel it limits my knowledge/understanding of the character.

What well known writers do you admire most?

Ernest Hemingway, for obvious reasons. And Ben Loory, for his imagination.

What is required for a character to be believable? How do you create yours?

For me, a character is believable if he or she struggles on two fronts: external and internal. Once a character has that struggle, everything else will fall into place. I usually “meditate” on the character I want to portray. I don’t think of him/her as an extension of myself, but rather as a close kin. By meditating on the character, I’d be able to get to know his/her struggles better. I always start with the struggles, before the personal details. All of that will be “discovered” in the writing process.

Are you equally good at telling stories orally?

I can’t be the judge of that. You’d have to ask the listeners :)

Deep down inside, who do you write for?

Myself.

Is writing a form of personal therapy? Are internal conflicts a creative force?

It can be. I think internal conflicts are internal conflicts. Creative force can come from anything, be it internal or external. The key to fostering a creative force is by constantly observing one’s surroundings.

Read the complete interview here.

Maggie Tiojakin adalah penulis buku kumpulan cerpen Balada Ching-Ching (penerbit Gramedia Pustaka Utama).

Dia termasuk penulis Indonesia yang cukup punya nama di komunitas penulis fiksi internasional.

The Jakarta Post Weekender, Asian News Network (ANN), The Boston Globe, Brunei Times, Writers’ Journal, Voices, La Petite Zine, Femina, Kompas, Eastown Fiction, Somerville News, adalah –antara lain- media yang pernah memuat karya perempuan alumni Universitas Pelita Harapan (1998) ini.

Bagi komunitas pembaca & penulis fiksi tanah air, nama Maggie Tiojakin mendapat apresiasi tersendiri.

Dialah yang ‘menghadirkan’ cerpen-cerpen kelas dunia ke dalam Bahasa Indonesia melalui media online bernama Fiksi Lotus.

Situs yang dikelolanya itu, secara regular menerjemahkan karya-karya cerpenis mancanagera dengan kualitas alih bahasa yang relatif  terjaga, serta professional; Se-izin dan bekerjasama dengan penulisnya/pemilik hak cipta.

Perihal inilah yang memicu kami untuk mewawancarai Maggie.

Apa misi yang diembannya hingga rela mengorbankan waktu & tenaga untuk menyajikan karya-karya penulis dunia secara ‘gratis’ kepada publik ?

Kami tidak tahu, apakah kegemarannya menonton Upin & Ipin ada hubungannya dengan keramatamahan copywriter yang pernah kuliah di Harvard Extension School (2004) ini. Namun faktanya, hanya dengan sekali sapa via e-mail, Maggie lansung mengiyakan permintaan wawancara tertulis dari kami.

Nah, berikut petikannya buat anda :

Sebelumnya, selamat atas terbitnya ‘Balada Ching-Ching’. Kumpulan cerpen dalam buku ini berkisah tentang apa saja ?

Terima kasih banyak untuk dukungannya terhadap BCC. Di dalam buku kumcer ini ada 13cerita pendek yang masing-masing bercerita tentang pengalaman hidup.

Ada yang sedih, ada yang senang, ada yang obsesif – dan lainnya. Intinya buku ini bercerita tentang balada dalam kehidupan sehari-hari kita.

Terbitnya Balada Ching-Ching butuh waktu 4 tahun setelah buku kumpulan cerpen anda yang pertama, Homecoming (Penerbit Mathe Publications, 2006). Mengapa bisa selama itu ?

Sebenarnya cerita-cerita yang terkandung dalam BCC merupakan kompilasi dari sejumlah cerita pendek yang saya tulis bahkan sebelum Homecoming terbit.

Kenapa ada selang waktu 4 tahun antara Homecoming dan BCC itu sebagian besar karena tadinya saya berencana menulis novel dulu sebelum menerbitkan kumcer lagi, tapi sampai sekarang naskah novelnya masih setengah matang.

Selain itu, proses seleksi cerita untuk BCC juga lumayan sulit dilakukan. Mayoritas cerita pendek yang saya tulis panjangnya dua-tiga kali melebihi batas standar cerpen Indonesia, dan karenanya kurang cocok untuk pembaca Indonesia.

Oleh sebab itu, saya harus menyeleksi cerita-cerita dengan panjang sesuai standar penulisan cerpen di sini.

Belajar Dari Penulis Cerpen Mancanegara

Anda banyak menerjemahkan karya-karya fiksi luar negeri. Apa saja yang bisa dipelajari –khususnya bagi penulis pemula- dari karya-karya penulis mancanegara tersebut.

Tujuan saya menerjemahkan cerpen-cerpen dari berbagai negara adalah karena terbatasnya stok cerpen asing di Indonesia, dalam arti cerpen asing yang bisa dinikmati dalam Bahasa Indonesia.

Kalau pembuat film kan enak tuh, bisa mendapatkan referensi luas hanya dengan mampir ke toko DVD langganan. Tapi untuk pembaca atau penulis cerpen Indonesia, menemukan cerpen asing yang telah disadur ke dalam Bahasa Indonesia itu sulit sekali.

Sebagai bahan referensi, cerpen asing menawarkan banyak sekali manfaat bagi pembaca maupun penulis cerpen di Indonesia. Sebagai contoh, seorang cerpenis asal Iran mungkin menawarkan sudut pandang dunia modern dari kultur Persia abad ke-21, yang mana sangat kontras apabila disandingkan dengan sudut pandang yang ditawarkan oleh seorang cerpenis asal Nigeria.

Namun dari perbedaan tersebut ada benang merah yang bisa ditarik, dicerna, dan dipelajari – seperti metode pengupasan budaya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam subyek tulisan.

Setiap negara dan suku bangsa punya budayanya masing-masing, tapi bagaimana budaya ini bisa kita ikutsertakan dalam sebuah cerita untuk menghasilkan potret hidup yang utuh adalah kunci penceritaan yang baik.

Ini artinya, sebuah cerita – terlepas dari asal-usul dan siapa penceritanya – bila diceritakan dengan baik akan memiliki nilai resonansi yang sama kuatnya walaupun dibaca oleh orang dengan latar belakang beragam serta orang dari masa/periode yang berbeda.

Cerita yang baik adalah cerita yang sifatnya tidak kenal geografi dan tidak kenal waktu.

Menurut anda, bisa tidak karya-karya penulis Indonesia bersaing di ‘pasar’ internasional ? Apa saja modal yang dibutuhkan?

Sangat bisa. Sekarang ini sudah banyak karya penulis Indonesia yang dijual dan digandrungi di negara-negara lain, seperti karya Eka Kurniawan, Clara Ng, Djenar Maesa Ayu, Andrea Hirata, dan juga tentunya Pramoedya Ananta Toer.

Selain itu, ada juga Erick Setiawan yang karyanya diterbitkan oleh penerbit bergengsi di AS, Simon & Schuster, dengan judul Of Bees and Mist dan telah menuai cukup banyak pujian dari pembaca internasional.

Memang, untuk memasuki tahap persaingan global, tolak ukurnya sebagian besar masih ditetapkan oleh dunia penerbitan di dua negara penikmat dan penghasil sastra terbesar di dunia: AS dan Inggris.

Hampir 80 persen penghargaan sastra bergengsi berasal dari AS dan Inggris. Namun nama-nama penulis internasional yang bersaing di sana masih tergolong sedikit, dan kalaupun ada mayoritas dari mereka adalah para penulis yang dididik atau dibesarkan di kedua negara tersebut.

Tahun 2010 merupakan tahun yang cukup spektakuler bagi cerpenis internasional, karena nama-nama mereka mulai dikenal di sejumlah jurnal sastra bergengsi di AS dan Inggris – seperti Yiyun Li (Cina), Chimamanda Ngozi Adichie (Nigeria), Dinaw Mengestu (Etiopia), juga Tea Obreht (Belgrade, mantan Yugoslavia).

Dan jumlah koleksi cerpen yang diterbitkan di tahun 2010 antara AS dan Inggris juga tidak sedikit.

Tahun 2011 diharapkan lebih sukses dari tahun sebelumnya, dan mudah-mudahan para penulis Indonesia bisa ikut berpartisipasi di dalamnya.

Secara objektif, apa saja kekurangan karya-karya penulis fiksi pendek Indonesia dibanding karya-karya penulis mancanegara, khususnya dalam soal teknik menulis.

Kalau menurut saya, Indonesia punya ‘gaya’ penulisan cerpen yang berbeda dari negara-negara lain.

Sayangnya ‘gaya’ ini juga yang sedikit-banyak agak menghambat kemajuan dunia cerpen Indonesia ke tahap internasional.

Saya tidak akan mengatributkan kekurangan ini kepada penulis Indonesia, melainkan kepada teknik bercerita itu sendiri yang akarnya bisa ditelusuri sejak jaman nenek-moyang kita.

Nah, kekurangan fiksi pendek Indonesia (termasuk di dalamnya mungkin fiksi pendek yang saya tulis juga) terletak di fokusnya terhadap plot, terhadap pembahasaan yang condong semakin ‘manis’ semakin bagus, dan terhadap penghindaran konflik.

Hampir semua cerpen lokal yang saya baca memiliki ciri khas sama: berusaha menghadirkan plot seru; dengan kosa kata tinggi nan sulit, berbelit dan berbunga-bunga; serta dialog/alur yang aman-aman saja.

Aman dalam arti memiliki resiko kecil bagi si penulisnya sendiri, bukan aman bagi masyarakat. Karena sesuatu yang tak ada artinya bagi penulis bisa jadi menuai bencana di tengah masyarakat (sensasi).

Tapi yang penting adalah bagi penulis untuk berani menghasilkan karya yang menentang sudut pandangnya sendiri. Counter-argument istilahnya.

Kalau kita mau telaah cerpen-cerpen klasik atau terbaik di dunia, seperti karya Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, Lu Xun, Virginia Woolf dan Jhumpa Lahiri – hampir semuanya tidak punya plot, penuturannya sederhana sesuai kebutuhan, dan dialog/alur-nya menantang kesadaran kita (serta kesadaran penulisnya).

Ernest Hemingway yang terkenal senang main perempuan tak urung mengeksplorasi arti komitmen dalam tulisan-tulisannya, karena itu perdebatan karakternya terasa begitu nyata dan jujur; sementara F. Scott Fitzgerald yang tergila-gila akan harta dan kemewahan, selalu mempertanyakan arti keduniawian; dan Jhumpa Lahiri juga tak pernah berhenti menggali arti identitas karena latar belakangnya sebagai orang India yang dibesarkan di negeri orang.

Penulis yang baik tidak harus jenius, tapi mereka harus punya keberanian untuk mempertanyakan diri mereka sendiri dan menumpahkannya ke dalam tulisan.

Sementara penulis yang selalu memilih jalur ‘aman’, dalam arti hanya berani berimajinasi tanpa berani mempertanyakan diri mereka sendiri, akan selalu menghasilkan karya yang ‘aman’ juga.

Nah, untuk saat ini, kita masih cenderung cari ‘aman’.

Dari pengalaman anda berinteraksi dengan penulis mancanegara, mereka itu umumnya belajar menulis otodidak atau produk institusi (semacam kelas/kursus menulis) ?

Sebagian besar pernah mengambil kursus menulis. Bahkan tak sedikit yang punya gelar Master dalam bidang Creative Writing.

Tapi yang harus dimengerti adalah kursus menulis atau jurusan Creative Writing tidak mengajarkan seseorang cara untuk menulis, melainkan memberikan bahan referensi yang luas serta membimbing agar para siswa bisa mengembangkan referensi itu menjadi acuan dalam menulis.

Karena pada dasarnya Creative Writing tidak memiliki pakem atau peraturan tertentu yang harus diikuti dari A-Z.Semua itu tergantung bagaimana kita mengasah kemampuan kita sebagai penulis, dan bagaimana kita mengolah topik yang ingin kita tulis menjadi sebuah karya yang memiliki nilai resonansi tinggi bagi pembaca.

Semua itu tidak ada buku panduannya, harus dipelajari langsung dari tulisan-tulisan yang sudah ada. Jadi bisa disimpulkan semua penulis belajar secara otodidak.

Seorang penulis yang punya gelar Master dalam bidang Creative Writing sama saja dengan penulis yang hanya lulusan SD tapi rajin membaca di perpustakaan umum.

Yang penting bukan institusi/gelar yang dimiliki, melainkan ketekunan membaca.

Menurut kami, anda penterjemah yang bagus. Tapi bagaimana cara anda menterjemahkan karya sastra luar negeri, dimana ‘cita rasa’ karya-karya tersebut tetap sama dengan bahasa aslinya ?

Terima kasih. Bagi saya pribadi, yang terpenting dalam menerjemahkan karya asing adalah bagaimana mentransportasi ‘jiwa’ tulisan dalam satu bahasa ke bahasa lain.

Saat lelah, saya sering terbentur dan masuk ke dalam pola ‘otomatis’ yang mendorong saya untuk menerjemahkan tulisan secara verbatim, atau kata per kata.

Tapi kalau sudah begitu saya lantas tersadar dan segera menghapus hasil terjemahan saya. Sebelum menerjemahkan suatu karya, harus ada pengertian yang sama antara si penerjemah dan si penulis buku dalam bentuk pendalaman karya.

Menerjemahkan buku sebenarnya sama saja seperti menulis ulang suatu karya sesuai dengan pengertian kita sebagai penerjemah. Kalau kita sendiri tidak mengerti ‘jiwa’ karya yang kita terjemahkan, apalagi pembacanya.

Kemampuan berbahasa itu penting, tapi lebih penting lagi adalah nalar.

Kami pembaca setia situs Fiksi Lotus yang anda kelola. Karya-karya penulis mancanegara yang anda terjemahkan kerap membuat ‘iri’. Mereka terlihat paham teknik menulis fiksi?

Wah, senang mendengarnya. Semoga Fiksi Lotus bisa terus mengajak kita semua untuk belajar lebih banyak tentang cerpen ya.

Karya-karya yang saya pilih untuk kemudian diterjemahkan dan di-upload ke Fiksi Lotus bagi saya merupakan karya-karya klasik, dalam arti mereka memiliki faktor timelessness di dalamnya.

Saya beruntung sekali karena sebagian besar cerpenis mancanegara yang saya sadur karyanya sangat mendukung keberadaan Fiksi Lotus.

Menurut saya mereka adalah cerpenis yang sangat handal; tapi perlu diingat juga bahwa untuk sampai ke posisi mereka sekarang, tidak sedikit surat penolakan yang harus mereka telan pahit-pahit sebelumnya di awal karir mereka.

Dan ini adalah proses yang harus dijalani semua penulis, karena dengan begitu mereka bisa terus mengasah kemampuan mereka.

Selain itu, sebagian besar dari mereka sangat low profile, selalu membuka diri untuk berinteraksi dengan pembaca.

Dengar-dengar film yang anda tulis; Simfoni Luar Biasa’ akan segera rilis bulan maret 2011, ini pengalaman pertama anda ? Apa ada perbedaan mendasar menulis buku dengan skenario film ?

Yessss!  Benar sekali. 17 Maret 2011 tepatnya.

Ini pertama kali naskah yang saya tulis bersama sutradara Awi Suryadi difilm-kan.

Perbedaan antara menulis naskah film dan buku itu sangat besar. Untuk film, tulisan yang baik adalah tulisan yang mengikuti format script – ini artinya tulisan yang memiliki keseimbangan unsur genre yang hendak ditampilkan.

Rumusnya lumayan rumit.

Contoh, untuk drama-komedi, ada hitungan menit tertentu di mana penonton harus dikelitik habis-habisan, dan ada menit lain di mana penonton harus dibuat tersentuh atau sedih.

Naskah yang baik adalah naskah yang terkontrol penyusunan dialog, aksi, dan setting-nya sehingga sehabis menangis, penonton tidak lantas dibuat menangis lagi; melainkan diberi kesempatan tertawa, sebagai comic relief.

Kalau belajar cara penulisan naskah yang baik, pasti tidak menyangka bahwa film yang kesannya tidak ada celah itu perlu melalui proses susun-menyusun adegan yang tidak jauh beda dengan penyusunan bata bangunan saat mendirikan tembok.

Setiap bata harus tepat peletakannya, dan semua harus saling menopang. Salah geser sedikit, hancur berantakan.

Sedangkan dalam menulis novel atau cerpen peraturannya tidak seketat itu.

Masalahnya naskah  tidak dinikmati sebagai bacaan, melainkan sebagai tontonan visual.

(Terakhir) apa pesan anda bagi penulis fiksi pemula untuk meningkatkan mutu tulisannya

Baca, baca, baca.

Semakin banyak baca, semakin banyak latihan, semakin baik hasil tulisan.

Kalau malas beli buku, silakan mampir ke Fiksi Lotus – gratis :)

Terima kasih, IndoNovel, atas kesempatannya diwawancarai. Maju terus ya!  terima kasih

Terima kasih.

Untuk mengakses link ke situs Indo Novel, silakan klik di sini.

Where do you get inspiration for your stories?

Inspiration comes from various places and situations. Obsesi, for example, is taken from my friend’s experience with her ex, whereas Balada Ching-Ching comes from something that I know happened in real life — a friend’s experience. I have to say the only short story spun out of nowhere is Apa Yang Kamu Lihat di Kartuku, Sayang? [* Maggie’s favorite in the collection]

Which characters in these stories fit you?

I have to say, all of the main characters do. I always think of what I would do or how I would react if I were each of them, facing those specific circumstances.

Tell us about your previous release, Homecoming, and were there any stories you wrote specifically for Balada Ching-Ching?

Homecoming comprises five stories written in English, and was released independently in 2006. The printing was done by a friend. We printed only 1,000 copies. Balada Ching-Ching is somewhat similar.

Its contents are from my collection of short stories that I have written since 2001. No shorts stories in the collection were specifically written for the book, and the story Balada Ching-Ching is more of an adaptation of the original. Previously written in English, I changed the setting and point of view to be more of an Indonesian than a Chinese person in the US.

What kind of emotions are you trying to extract from your readers?

I didn’t write to provide enlightenment. I wanted my readers to see things from a different angle. Dua Sisi, for example, is my defense for getting to know both sides of the story. The simple things in life matter, and I want my readers to be able to identify with the story.

What are you currently working on? Any upcoming works?

I’m currently in the process of promotion, obviously. The market for short stories has declined in 2008 and 2009, which is in contrast with what happen throughout the rest of the world. Short stories are booming in Asia and Europe, including Eastern Europe, with different awards given.

We have different awards for short stories, but most of them look for those written in typically artistic Indonesian, which you can see is not my style. Even Gramedia asked me to write a novel for the next publication, possibly next year … but we’ll see. I’ll probably come up with between nine and 12 pages of short stories, longer stories this time.

What I really want to do is promote the art of the short story as a whole in Indonesia, more as a tool of self reflection than entertainment; to show people it doesn’t take artsy language abuse to create great stories.

Read the original post here.